In English Lorong means isle way, and Gendong means carrying/piggybacking. In the past, piggybacking was a daily activity for the parents as they carried their children on their back while working. It’s a kind of affection and even works as a cure to a sick child. The smell of the parents transfers positive energy to heal the child. The parents will carry the child while singing a traditional song especially when they are fussy.
Based on Javanese philosophy, piggybacking is a symbol of strong relationship between parents and their children. In some decent occasions, parents would sing a lullaby song while carrying their children, lifting them up and enchant them with lyrics of pray, “anakku sing bagus dewe/ayu dewe besuk gede bakal dadi opo” (“dear my loved one the fairest of all, what would you come to be?”). A lyric that delivers a wholehearted pray, a wish for the children to have decent life in the future.
Nowadays, piggybacking during works seems to be difficult to do especially in modern life. Therefore, Lorong Gendong was built as a reminder to the moral value of family bonds. It has 187 steps located in the uphill side. In Javanese culture, the number 187 represents struggle, surrender, and guidance.
Di masa lalu menggendong menjadi aktifitas sehari – hari terutama bagi orang tua dan anak, menggendong menjadi hubungan yang sangat erat sebagai wujud kasih sayang dan bahkan menjadi obat dikala anak sedang sakit. Bau keringat orang tua menjadi energi positif untuk kesembuhan sang anak. Kebiasaan menggendong terutama bagi anak kecil yang sedang tidak enak badan (rewel) biasanya dilakukan dengan melantunkan kidung-kidung gubahan para wali di masa lalu.
Menggendong sebagai simbol hubungan erat antara orang tua dan anak menjadi sebuah hiburan dikala selesai melakukan pekerjaan-pekerjaan berat seperti berladang, bertanam, memanen, maupun disaat suasana kebahagiaan karena mendapatkan rezeki yang tidak disangka-sangka. Biasanya selain menggendong dilanjutkan dengan “ngudang anak” yaitu mengangkat tinggi-tinggi sang anak dengan mengucapkan kalimat “anakku sing bagus dewe/ayu dewe besuk gede bakal dadi opo”.
Seiring dengan perkembangan zaman menggendong sudah jarang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari karena kemajuan zaman dan teknologi yang semakin canggih sehingga anak-anak lebih asik dengan bermain berbagai fasilitas yang ada seperti handphone. Agar menjadi sebuah atraksi yang menarik, menggendong menjadi bagian aktivitas untuk melewati lorong panjang dan menanjak dengan tangga berjumlah 187 yang dalam bahasa Jawa adalah satus wolong puluh pitu. Satus bermakna ngesat karo ngetus sebagai simbol perjuangan, wolu bermakna wual ing pandulu, puluh bermakna pasrah dan pitu berasal dari kata pituduh atau pitulungan yang dimaknai sebagai pertolongan. Maksud dari tangga tersebut adalah menjadi simbol perjuangan dengan cara berserah diri kepada Tuhan untuk mendapatkan petunjuk dan pertolonganNya.