Courtesy of Yayasan Biennale Yogyakarta

Yayasan Biennale Yogyakarta meneruskan tradisi pemberian penghargaan Penghargaan Pencapaian Seumur Hidup (Lifetime Achievement Award/LAA) untuk menghargai figur-figur
yang dianggap berkontribusi penting dalam pembentukan wacana seni dan pengembangan
ekosistem seni di Yogyakarta secara khusus, dan Indonesia secara umum. Para penerima
LAA merupakan mereka yang sudah sangat diakui di bidangnya, tetapi acap terlupakan atau tak diberi penghargaan yang menunjukkan apresiasi yang layak. Tahun 2021 ini, bersamaan dengan seremoni penutupan Biennale Jogja XVI Equator #6, YBY menyerahkan penghargaan kepada Nunung WS dan Hermanu.

Courtesy of Yayasan Biennale Yogyakarta

“Para Dewan Pembina dan Pengawas Yayasan Biennale Yogyakarta, dengan berbagai pertimbangan, seperti dedikasi, loyalitas, integritas, dan kontribusi praktik kesenian setiap
figur untuk pembentukan ekosistem seni di Indonesia dan lebih khusus lagi di Yogyakarta,
pada akhirnya memberikan Lifetime Achievement Award kepada Nunung WS dan Hermanu,”ujar Alia Swastika, Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta pada acara Penutupan Biennale Jogja XVI dan Penyerahan LAA di Jogja National Museum (JNM) pada Sabtu (13/11) malam.

Courtesy of Yayasan Biennale Yogyakarta

Alia menjelaskan, Nunung WS (Wahid Sahab), merupakan seorang perupa abstrak perempuan Indonesia. Dia lahir di Lawang, Jawa Timur, pada 9 Juli 1948. Sampai di usianya yang ke-78 tahun, Nunung masih aktif berpameran, baik di dalam maupun luar negeri. Terakhir, ia menjadi bagian dalam pameran seniman perempuan di museum bergengsi, Mori Art Museum di Tokyo, Jepang. Ia telah menunjukkan keteguhan dalam berkarya meskipun jauh dari spotlite dan ingar-bingar ketokohan dalam seni rupa. Meski demikian ia masih terus menjalankan panggilan hidupnya sebagai seorang seniman.

Courtesy of Yayasan Biennale Yogyakarta

“Lebih menarik lagi, Ia juga menunjukkan beragam cara untuk bertahan dan bernegosiasi dengan politik medan seni dan wacana seni rupa, untuk terus berkarya dan merawat pemikiran dan gagasannya,” kata Alia. Sementara itu, Alia juga menunjukkan bagaimana Hermanu menggerakan ekosistem seni di Indonesia mulai akhir 1980-an hingga sekarang dengan praktik kerjanya di Bentara Budaya Yogyakarta. Kerja-kerja kuratorialnya bisa menunjuk pada semangat dekolonisasi praktik seni, yang tidak selalu berpijak pada pengetahuan Barat, tetapi mengembangkan wacana yang berbasis pada tradisi dan pengetahuan lokal.

“Selain itu, Bentara Budaya Yogyakarta juga menjadi ruang perkembangan yang penting bagi seniman-seniman Yogyakarta baik sebagai ruang pertemuan sosial maupun sebagai ruang diskusi untuk membicarakan visi dan gagasan estetika baru,” kata Alia. Biennale Jogja XVI Equator #6 2021 sendiri ditutup setelah 40 hari penyelenggaraannya. Kegiatan yang panjang ini diselenggarakan di empat lokasi, yaitu Jogja National Museum (JNM), Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Museum dan Tanah Liat (MdTl), dan Indieart House. Untuk mengisi pameran, panitia membuat program dengan total 99 program, meluas
dari yang semula dirancang 70 program.

Courtesy of Yayasan Biennale Yogyakarta

“Dalam 40 hari itu, kami berupaya maksimal agar penyelenggaraan program dapat menjadi
media untuk transfer pengetahuan dan gagasan, baik dari sisi kuratorial maupun dari seniman yang melakukan aktivasi karyanya,” ujar Gintani Nur Apresia Swastika membacakan laporannya.

Selama 40 hari itu pula, lapor Gintani, Biennale Jogja XVI telah dinikmati oleh kurang lebih 1.5 juta orang melalui media sosial, 236.210 melalui website, dan 14.590 melalui kunjungan langsung di 4 lokasi. Selain itu, kegiatan ini terpublikasi di 165 portal media daring, 25 media cetak, dan 15 media elektronik, baik lokal, nasional, maupun internasional.

Sebagaimana sepuluh tahun penyelenggaraannya, lanjut Direktur Biennale Jogja XVI itu, pameran dua tahunan ini berfokus pada kawasan khatulistiwa dan mempertemukan Indonesia dengan negara-negara di garis khatulistiwa. Tahun ini, bekerja sama dengan wilayah Oseania, tim kurator membingkai pameran utama dengan judul Roots <> Routes yang diselenggarakan sejak 6 Oktober 2021. Ada 34 seniman dan kolektif yang diundang sebagai partisipan.

Selain penghargaan kepada seniman dan kurator berdedikasi tersebut, malam itu juga diisi
dengan peluncuran buku Membabar Peta, Merupa Bumi yang merupakan hasil Sinau Romo
Mangun yang merespon ruang Romo Mangun pada pameran di JNM. Diluncurkan pula buku
Pasang Naik, Laut yang Sama, katalog Biennale Jogja XVI Equator #6 2021. Beberapa pertunjukan akan digelar di penghujung acara, seperti paduan suara yang membawakan lagu “Nyanyian Sunyi” karya Mambesak dan disambung narasi karya “Dibungkam” Yanto Gombo dan karya Wok The Rock (Radio Isolasido) yang menarasikan “Sedikit mendengar, Banyak Mendengarkan”

Forum Bakurima: Oceania HipHop Forum menjadi acara pamungkas, yang merupakan forum diskusi dengan format musik hip hop dari kawan-kawan Indonesia bagian timur. Beberapa yang tampil adalah DJ Kateratchy, Lacosmusixx, Mario Zwinkle, Keilandboi, Uncle T, Presiden Tidore, Bacil Kill, dan Muria.

Yayasan Biennale Yogyakarta
Jl. Sri Wedani No. 1, Taman Budaya Yogyakarta, 55122
Telp. +62 274 587712 – Email. the-equator@biennalejogja.org –
www.biennalejogja.org