Hidup bagaikan menaiki sepeda. Agar tetap seimbang anda harus tetap bergerak, itulah kata-kata yang diungkapkan cendekiawan dunia Albert Einstein mengenai kehidupan. Seperti itulah kehidupan yang dianalogikan dengan sepeda yang terus berjalan melalui kayuhan kaki agar tetap melaju secara seimbang.
Keseimbangan itulah yang coba kami lakukan terhadap lingkungan sekitar, ketika kami mengadakan wisata Sepeda dari Candi Plaosan ke Candi Sojiwan. Dengan mengayuh sepeda kami merasakan sekali dekat dengan lingkungan sekitar. Kayuhan kaki-kaki api tak mungkin bisa melebihi kecepatan transportasi bermesin seperti sepeda motor, mobil bahkan pesawat terbang.
Perjalanan kami dimulai dari Candi Plaosan Lor, sebuah candi megah yang yang dibangun oleh Rakai Pikatan untuk permaisurinya Pramudyawardhani. Raja Rakai Pikatan dari Wangsa Syailendra dan Permaisuri Pramudyawardani dari Wangsa Sanjaya, mereka bersama-sama membangun candi ini. Pada masa merekalah terjadi harmoni antara pemeluk Hindu dan Budha dengan dibangunnya Candi Plaosan oleh mereka berdua, simbol bersatunya kedua wangsa. Itulah mengapa Candi Plaosan sering disebut juga sebagai Candi Cinta.
Perlahan kami mengayuh meninggalkan Candi Plaosan, tidak lama setelah itu kami masuk gang kecil yang tidak jauh dari komplek candi tersebut. Beriringan dengan canda tawa kami berhenti di sebuah rumah sederhana untuk melihat proses pembuatan emping melinjo yang dilakukan secara manual. Sesampainya di tempat tersebut salah satu dari kami meminta ijin sembari kulonuwun untuk melihat proses pembuatan emping melinjo tersebut.
Ibu Sri Aminah, pengrajin emping mlinjo menerangkan kepada kami proses pembuatan emping melinjo dimulai dengan pemanenan buah mlinjo yang sudah merah. Setelah itu dikupas kulitnya dan dijemur hingga kering, biji mlinjo digoreng dengan mencapurkan pasir agar tetap hangat sehingga muda menanggalkan kulit arinya. Setelah itu, biji mlinjo yang putih bersih disangrai sampai hangat. Tujuannya agar empuk saat ditumbuk/digepengkan sesuai bentuk dan ukuran. Setelah ditumbuk emping-emping tersebut dijemur agar menjadi kering, dan siap untuk diolah dengan cara digoreng. Kami juga sempat mencicipi beberapa emping yang sudah ada dan beberapa dari kami membeli dibawa untuk bekal perjalanan wisata sepeda kami.
Dengan penuh akrab saling menyalami, kami pun berpamitan untuk meneruskan kembali perjalanan. Masih dengan suasana desa yang asri, kami melewati area persawahan yang membawa kami menuju di area pembuatan batu-bata. Sesampainya di sana, kami mendapati proses tersebut pada taraf pembakaran batu-bata yang menggunakan bahan baku dari kulit padi yang dibakar.
Perjalanan berikutnya, kami berkunjung di pengrajin serta seniman angklung Pak Warno. Di usianya yang sudah sepuh beliau tetap semangat dalam berkarya dan ketika kami datang beliau di bantu salah satu putrinya menyambut dengan permainan angklung sembari mendendangkan beberapa tembang jawa dengan keceriaan dan keramahan.
Proses pembuatan angklung di tempat beliau ini menggunakan bambu jeni ori dengan berbagai ukuran. Angklung buatan Pak Warno memiliki perbedaan dengan angklung khas sunda. Hasil kreasi beliau terlihat lebih unik dan serta nada suaranya pun sangat berbeda. Di tempat ini kami juga di jamu dengan hidangan tradisional khas masyarakat desa Taji Prambanan, emping melinjo, tape ketan dan minuman hangat teh jahe.
Akhir perjalanan kami diakhiri di Candi Sojiwan -Candi ini merupakan cermin dan salah satu bukti kerukunan umat beragama di masa silam. Menurut Prasasti Rukam (907 M), Raja Balitung dari kerajaan Mataram Kuno mempersembahkan bangunan suci yang bercirikan agama Budha untuk neneknya yang sangat dihormati. Raja Balitung beragama Hindu, sedangkan neneknya beragama Budha- yang berlokasi di Dusun Kebon Ndalem Kidul Prambanan untuk menikmati makan siang dengan menu sayur lodeh, bumbu tahu pecel dan sayur urap ditambah lauk tahu tempe dan karak khas Prambanan.