Sri Sultan HB X duduk bersama dengan warga Yogyakarta dalam aksi Gerak Pancasila di Pagelaran Keraton Yogya, Kamis sore, 1 Juni 2017. Pada perhelatan akbar yang dihadiri puluhan ribu orang itu, Sultan HB X yang juga Gubernur DIY itu menyampaikan lima poin penting terkait Pancasila lewat orasi kebangsaan.

Pertama, ia menekankan tidak cukup meneriakkan slogan membela Pancasila ataupun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai harga mati.

“Pancasila jiwa bangsa, Bung Karno menyebutnya roh yang mampu memperteguh semangat kebangsaan,” ucap Sultan HB X pada acara yang diadakan untuk memperingati Hari Lahir Pancasila.

Karena itu, tutur Sultan, pemerintah tidak cukup menolak paham yang anti-Pancasila, melainkan perlu menerapkan gagasan Presiden pertama RI Sukarno atau Bung Karno, yakni penyelenggara negara menerapkan Pancasila dalam segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, dari tingkat desa sampai pusat.

Kedua, Sultan Yogya menilai sumber dari rapuhnya Pancasila adalah dasar hukum Undang 1945 yang sudah diamendemen sebanyak empat kali dan menyimpang dari Pancasila. “Salah satu isinya, kedaulatan rakyat berhenti pada DPR dan presiden, maka kesejahteraan rakyat mustahil terwujud.”

Ia menekankan pula, amendemen UUD 1945 perlu ditinjau ulang untuk menciptakan penyelenggaraan hukum dan pemerintahan, serta masyarakat yang baik.

Ketiga, Sultan menganalogikan Pancasila seperti anak tangga. Sila kelima merupakan anak pertama yang harus dijajaki. “Keadilan sosial tidak akan terwujud jika masih ada kesenjangan sosial yang memberi aspek rumit dalam bermasyarakat karena tidak berbasis pada keadilan ekonomi.”

Demikian pula, demokrasi dan persatuan nasional sulit terwujud jika keadilan sosial belum terpenuhi dan kemanusiaan tidak mungkin dihormati tanpa keadilan sosial. Apabila semua sudah dilakukan, penghayatan sila Ketuhanan Yang Maha Esa semakin kokoh

Menurut Sultan, selama Pancasila diperalat untuk kepentingan politik, kehidupan berbangsa dan bernegara akan merosot. Sebab, hal yang terpenting bukan sekadar wacana atau retorika, melainkan aksi langsung yang bisa dirasakan masyarakat.

Keempat, ia menegaskan jangan sampai Indonesia bernasib sama seperti yang terjadi di Kerajaan Sriwijaya atau Majapahit. Kedua kerajaan itu hancur karena konflik internal, padahal mereka berhasil membangun kerja sama dengan kerajaan-kerajaan di luar.

Ia berpendapat situasi saat ini mirip wayang kulit, semua orang beradu benar, disertai ujaran kebencian, banyak debat paradoksal, kontroversial, dan vulgar.

“Semua terpenjara dalam adegan goro-goro yang vulgar, dan melupakan Pancasila,” tutur dia.

Kelima, Sultan Yogya mengajak seluruh masyarakat membangkitkan Gerak Pancasila dari Jogja untuk Indonesia. Ia mencontohkan pada Serangan Fajar 1 Maret 1949 bukan simbol janur kuning yang tampak, melainkan pita merah putih.

“Jiwa kebangsaan harus dan selalu masih hidup di hati rakyat guna merawat NKRI tetap lestari,” ujar Sri Sultan HB X.