Mangunan, Dlingo ini ternyata tidak hanya menyimpan keindahan alam yang luar biasa, namun masyarakatnya memiliki tradisi tutur yang sangat kuat. Tradisi tutur berupa kisah legenda yang diwariskan secara turun temurun ini menjadi bekal pengetahuan masyarakatnya dalam mengenal awal mula Mangunan, Dlingo ini. Kisah legenda ini juga dikuatkan dengan situs-situs petilasan yang erat kaitannya dengan cikal bakal Desa Mangunan dan wilayah-wilayah di sekitarnya.
Kisah itu bermula dari perjalanan Sunan Kalijaga yang mengembara menyebarkan agama Islam di tanah Jawa sekitar abad 14-15. Dalam perjalanannya, Sunan Kalijaga bertemu dengan sosok bernama Raden Cokrojoyo yang dituakan di desa Bedhug, Bagelen (saat ini adalah wilayah Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah). Raden Cokrojoyo adalah seorang yang kuat bertirakat dan memiliki budi yang sangat luhur. Keseharian Raden Cokrojoyo adalah menyadap nira sebagai bahan membuat gula aren. Sunan Kalijaga berjumpa dengan Raden Cokrojoyo saat akan menyadap nira, Raden Cokrojoyo merapalkan mantra yang selalu ia ucapkan yaitu “Bumbung Kluntang Kluntung, Sopo Gelem Melu Aku”. Sunan Kalijaga yang mendengarkan mantra itu kemudian meminta Raden Cokrojoyo mengganti mantranya dengan kalimat yang diajarkan oleh Sunan Kalijaga. Permintaan Sunan Kalijaga ditolak oleh Raden Cokrojoyo karena ia tidak tahu bahwa orang yang menegurnya itu adalah Sunan Kalijaga yang memiliki ilmu dan kesaktian. Supaya menghindari perdebatan, Sunan Kalijaga hanya diam dan memperhatikan Raden Cokrojoyo yang sedang menyadap nira. Saat Raden Cokrojoyo hendak pulang ke rumah, Sunan Kalijaga menawarkan diri untuk ikut untuk melihat proses pembuatan gula aren.
Sesampainya di rumah Raden Cokrojoyo, Sunan Kalijaga kemudian meminta satu buah tempurung kelapa untuk membuat gula aren lalu dibungkus menggunakan daun pisang kering. Saat hendak pamit, Sunan Kalijaga menyerahkan bungkusan gula aren tersebut kepada Cokrojoyo dan berpesan untuk tidak dibuka sebelum Sunan Kalijaga meninggalkan Desa Bedhug. Tak lama setelah Sunan Kalijaga pergi, Cokrojoyo yang penasaran dengan bungkusan tersebut akhirnya dibuka olehnya. Raden Cokrojoyo sangat kaget, bungkusan yang harusnya berisi gula aren itu ternyata berubah menjadi emas. Raden Cokrojoyo menyadari bahwa orang yang menegurnya tadi adalah orang sakti. Ia memutuskan untuk mencari Sunan Kalijaga untuk berguru.
Dalam perjalanannya, Raden Cokrojoyo tiba di kawasan yang saat ini dikenal sebagai Desa Mangunan. Ia tiba saat subuh dan mendengar suara adzan, suara tersebut pelafalannya mirip dengan doa yang diajarkan Sunan Kalijaga saat ia menyadap nira. Ia kemudian mengikuti suara tersebut dan akhirnya berjumpa dengan Sunan Kalijaga. Raden Cokrojoyo akhirnya meminta maaf dan memohon untuk bisa menjadi murid Sunan Kalijaga. Namun karena sifat Cokrojoyo yang tempramen dan tidak sabaran itu, akhirnya Sunan Kalijaga mengujinya dengan meminta Cokrojoyo untuk menjaga tongkat yang ditancapkan Sunan Kalijaga. Sebelum Sunan Kalijaga pergi, ia berpesan kepada Cokrojoyo agar tidak meninggalkan tongkat tersebut sebelum Sunan Kalijaga kembali lagi.
Bulan berganti tahun, tak terasa sudah 9 tahun Sunan Kalijaga berkelana. Ia pun teringat pada Cokrojoyo, akhirnya Sunan Kalijaga kembali di tempat ia meninggalkan Cokrojoyo bersama tongkat yang ia tancapkan. Sesampainya di lokasi, ternyata kawasan itu telah berubah menjadi hutan belantara. Sunan Kalijaga yang kesulitan menemukan Cokrojoyo akhirnya membakar hutan tersebut. Api yang besar membakar hutan itu dalam bahasa Jawa disebut Mulad-Mulad, sehingga terdapat kampung di kawasan Mangunan yang diberi nama Kampung Muladan.
Ketika hutan tersebut nyaris habis terbakar, terlihatlah jasad Cokrojoyo yang mati terpanggang api. Jasad Cokrojoyo yang hangus terbakar ini membuatnya dikenal dengan nama Sunan Geseng (Geseng = Hangus/Gosong). Sunan Kalijaga kemudian menggendong jasad Cokrojoyo dan memandikannya di sebuah sendang (mata air), ajaibnya Cokrojoyo hidup kembali. Saat ini sendang tersebut masih ada di kawasan Desa Mangunan yang oleh masyarakat dikenal sebagai Sendang Panguripan (Mata Air yang Menghidupkan).
Dikarenakan Cokrojoyo mati terbakar dan hidup kembali, Sunan Kalijaga merasa perlu untuk menguji kembali pancaindra Cokrojoyo. Terdapat pohon Lo Putih di depan Sunan Kalijaga, Cokrojoyo diminta untuk menebak itu pohon apa. Cokrojoyo yang sedari awal memiliki watak keras akhirnya kesal dengan pertanyaan Sunan Kalijaga, ia menganggap sang Sunan mengejek kemampuan Cokrojoyo menebak pohon Lo Putih tersebut. Akhirnya Cokrojoyo membelokkan jawabannya bahwa pohon itu adalah pohon Jati. Sunan Kalijaga yang merasa ada yang tidak beres dengan jawaban Cokrojoyo akhirnya memancing dengan jawaban yang berbeda bahwa itu pohon Kluwih. Perdebatan keduanya terjadi hingga akhirnya pohon Lo Putih itu menghilang dan tergantikan dengan pohon Jati Kluwih. Hingga sekarang pohon tersebut masih ada dan menjadi penanda kisah tersebut. Makna pohon Jati Kluwih tersebut adalah Sejatine Kaluwihan (Kelebihan yang sesungguhnya) yang menjadi perjalanan spiritual Cokrojoyo sebagai murid Sunan Kalijaga.
Kisah legenda di atas merupakan salah satu dari beberapa legenda yang masih lestari di kawasan Mangunan, Dlingo. Legenda-legenda tersebut tak hanya sebagai sarana menuturkan tentang asal-usul wilayah Mangunan, melainkan menjadi penguat obyek daya tarik wisata di kawasan Desa Mandiri Berbudaya, salah satunya yaitu Wana Wisata Budaya Mataram.