Kampung Pitu, inilah kampung paling keramat dan sakral di kawasan Gunung Api Purba Nglanggeran. Semua bermula ketika di temukannya sebuah Pohon Kinah Gadung Wulung oleh seorang abdi Keraton Yogyakarta. Di dalam pohon yang langka ini konon terdapat sebuah benda pusaka yang memiliki kekuatan besar. Pada waktu itu, abdi dalem Keraton Yogyakarta menyampaikan bahwa barang siapa yang mampu merawat dan menjaga benda pusaka yang terdapat di dalam pohon tersebut maka akan diberi imbalan tanah untuk menjadi tempat tinggal anak dan keturunannya. Sosok yang menyanggupi perintah tersebut adalah Eyang Iro Kromo.

Setelah beberapa tahun berlalu, benda pusaka tersebut tidak diketahui keberadaannya. Hal ini membuat banyak orang sakti yang tertarik untuk menghuni Kampung Pitu. Dari sekian banyak orang sakti yang datang menghuni wilayah ini, hanya tujuh orang yang kuat bertahan hidup, sisanya banyak yang meninggal. Dari sinilah kepercayaan bahwa hanya tujuh orang yang boleh menempati kampung ini sehingga kampung ini diberinama Kampung Pitu (Pitu adalah bahasa Jawa untuk angka tujuh).

Dari ketujuh orang tersebut, hanya dua orang yang menikah untuk melanjutkan keturunan. Keturunan mereka yang sudah menikah dan ingin mendirikan rumah serta menjadi kepala keluarga yang baru maka harus menaati adat istiadat yang berlaku yaitu tidak boleh kepala keluarga lebih dari tujuh orang. Jika ingin tinggal di kawasan Kampung Pitu, ia harus menunggu sampai ada kepala keluarga yang meninggal atau menjadi satu kepala keluarga atau pindah ke wilayah lain. Jika ada warga yang melanggar kepercayaan tersebut, maka akan terjadi suatu kejadian dimana salah satu dari kepala keluarga tersebut sering sakit-sakitan, merasa tidak betah ingin pergi dari rumahnya serta adanya kejadian gaib yang mengganggu kehidupannya dan bahkan meninggal dunia. Keanehan tersebut masih ada sampai sekarang, hal inilah yang menjadikan kawasan Kampung Pitu menjadi unik dan sakral.

Sebagai kampung yang dikeramatkan, Kampung Pitu memiliki beberapa situs yang disakralkan seperti Tlogo Guyangan dan Tapak Jaran Sembrani serta upacara adat seperti Tingalan, Tarian Tayub/Ledek, Rasulan, Ngabekten, Mong-Mong Pedet, Mong-mong Motor dan beragam tradisi lainnya. Tak hanya kesakralan, Kampung Pitu juga menawarkan panorama alam yang indah. Dari puncak Kampung Pitu yang memiliki ketinggian 1.000 mdpl, wisatawan dapat melihat pemandangan kota Jogja sekaligus dapat menyaksikan gagahnya Gunung Merapi yang bersanding dengan Gunung Merbabu. Dengan ketinggian dan pemandangan yang ditawarkan, Kampung Pitu menjadi spot terbaik untuk menyaksikan matahari terbit (sunrise). Selain itu atraksi lain yang dapat dilakukan yaitu melakukan tyroline dan cliff swing.


Kampung Pitu – The Guardians of Traditions

Kampung Pitu is the most sacred and mystical village in the area of the ancient volcano Nglanggeran. It all began when a Kinah Gadung Wulung tree was discovered by a servant of the Yogyakarta Palace. According to the believes, this tree contains a sacred object with great power. At that time, the palace servant conveyed that anyone who could care for and safeguard the sacred object within the tree would be rewarded with land for their descendants to live on. The one who accepted this task was Eyang Iro Kromo.

After several years had passed, the whereabouts of the sacred object remained unknown. This drew the interest of many mystical individuals to inhabit Kampung Pitu. Among the numerous mystics who came to reside in this area, only seven individuals proved strong enough to survive, while many others perished. It is from this belief that only seven people are allowed to inhabit this village, and that’s why it was named Kampung Pitu (Pitu is the Javanese word for the number seven)

From those seven individuals, only two of them married to continue their lineage. Their descendants, when they get married and wish to establish a new household and become the head of a new family, must adhere to the prevailing customs, which dictate that there should be no more than seven heads of households. If someone wishes to reside in Kampung Pitu area, they must wait until a head of the family passes away or merges with another household or moves to another area. If a resident violates this belief, unusual occurrences may happen, including one of the heads of households frequently falling ill, feeling uncomfortable in their home, experiencing supernatural disturbances, and even passing away. This peculiarity persists to this day, making Kampung Pitu unique and sacred.

As a revered village, it features several sacred sites such as Tlogo Guyangan and Tapak Jaran Sembrani, as well as traditional ceremonies like Tingalan, Tayub/Ledek Dance, Rasulan, Ngabekten, Mong-Mong Pedet, Mong-Mong Motor, and various other traditions. Beyond its sacredness, Kampung Pitu also offers beautiful natural panoramas. From the summit of the village, which sits at an elevation of 1,000 meters above sea level, tourists can behold the view of Yogyakarta city and witness the majestic presence of Mount Merapi alongside Mount Merbabu. With its elevation and breathtaking vistas, this site becomes the perfect spot for viewing the sunrise. Additionally, other attractions include tyro line and cliff swing activities.